Di Indonesia, tempat segudang
perbedaan berada, memiliki sejumlah hari libur nasional yang oleh pemerintah
kadangkala ditetapkan menjadi hari libur cuti bersama, yaitu hari libur
nasional yang satu hari itu menjadi lebih panjang 2-4 hari, biasanya jika hari
libur nasional tersebut mendekati weekday (hari Sabtu/Minggu). Nah, kebijakan
pemerintah ini menjadi kebijakan yang sangat dicintai oleh seluruh keluarga di
Indonesia karena dengan hari libur nasional/hari libur cuti bersama dapat
mereka jadikan ajang untuk berlibur bersama dengan anggota keluarga. Beragam
rencana liburan, jauh maupun dekat, sudah ada dalam rencana.
Indah? Tentu saja, tapi itu dalam
rencana. Pada kenyataannya, ketika sebuah keluarga sudah “turun ke jalan”
dengan mobilnya, yang didapati adalah kemacetan, keruwetan lalu lintas. Waktu
perjalanan menjadi lebih panjang 2-3 jam. Ambil contoh jalur ke Bogor, yang biasanya menjadi rujukan
warga Jakarta untuk berlibur, menjadi padat oleh mobil dan bus yang mengular.
Bagaimana dengan daerah yang lain? Sama saja.
Sedikit bercerita pengalaman pribadi
pada hari libur Kenaikan Isa Al-Masih yang jatuh pada tanggal 17 Mei 2012, yang
di-expand menjadi hari cuti bersama
sampai dengan Minggu 20 Mei 2012, saya, saudara-saudara, orang tua, dan
keponakan saya Yusuf yang berusia 6 tahun memanfaatkannya untuk sekadar mencari
tempat “nongkrong”, yaitu tempat
makan dan biasanya terdapat arena outbound,
permainan anak, maupun kebun binatang mini. Tempat yang kami tuju adalah
“Banaran”.
Perjalanan sampai dengan masuk pintu
tol Ungaran sejauh itu baik-baik saja, namun di pintu keluar tol, terjadi
antrean panjang kendaraan. Ya maklum, pintu keluar tol Ungaran adalah “jalan
kampung”, tidak lebar, karena sifatnya hanya sementara menunggu sesi
selanjutnya jalan tol Ungaran-Solo dibangun. Mobil-mobil mengular di “jalanan
kampung” Ungaran untuk sekadar “muncul” ke jalan raya.
Bagi warga Semarang, rute menuju Yogyakarta
dan Solo adalah rute favorit liburan, sehingga lazimnya ketika weekend kemacetan sering terjadi. Jangan
tanya bagaimana kalau mudik, kawan saya pernah melakukan perjalanan mudik dari
Semarang ke Yogyakarta atau sebaliknya ketika pulang mudik (arus balik) yang
biasanya dapat ditempuh dalam 3 jam menggelembung menjadi 10 jam. Sungguh
sangat membuat stress.
Baik, lalu apa? Apa kita hanya bisa
mengeluh, menggerutu berulang-ulang tanpa ada solusi? Apakah sebenarnya solusi
untuk mengatasi macet itu ada? Jawabannya, tidak ada. Solusi mengurangi macet
(baik secara signifikan maupun tidak) tentu ada, tapi menghilangkan sama
sekali, tidak ada.
Taruhlan contoh di negeri-negeri
Eropa di mana system transportasi massal sudah sedemikian teratur, canggih, dan
efisien saja kemacetan masih dapat kita temui di jalanan. Apalagi, di negeri
kita yang belum baik, kalau tidak mau dikatakan tidak.
Menurut pendapat saya, system
transportasi missal di Indonesia tidak akan sedemikian semrawut nya jika, pemerintahan Soekarno tetap mempertahankan Trem.
Dihapuskannya trem membuat saya tidak habis pikir, kenapa Soekarno menghapus
alat transportasi trem dan menguburnya dengan aspal. Alasannya? Hanya untuk
menghapus jejak-jejak peninggalan kolonialisme Belanda. Hanya itu alasannya? Ya,
hanya itu. Anda tidak habis pikir kan bahwa alasannya sesepele itu. Menurut
saya tidak semua budaya, peninggalan, adat, kebiasaan yang dibawa oleh colonial
Belanda adalah buruk. Banyak kok yang baik, contohnya saja hukum kita berkiblat
atau menggunakan peninggalan Belanda.
Baik, kembali ke soal trem tadi. Saya
pernah membaca, entah benar atau tidak namun masuk akal, bahwa kebijakan penghapusan alat transportasi massal
yang bernama trem adalah karena bantuan atau dana hibah dari pemerintahan
Jepang untuk Indonesia. Bantuan itu digunakan untuk menutup jalur rel dengan
aspal dengan tujuan supaya Yamaha, Honda, Suzuki bisa berjalan di atasnya. Seperti
kita ketahui, penduduk kita adalah besar jumlahnya dan merupakan tujuan ekspor
negara lain. Apalagi, pemerintahan waktu itu, orde lama, lebih-lebih orde baru,
sangat welcome terhadap bantuan pihak
asing, entah itu utang, lebih-lebih dana hibah. Sekadar informasi bagi pembaca,
seingat saya pemberi bantuan Indonesia (entah itu utang atau hibah) antara lain
Pemerintahan Jepang, CGI (consultative Group of Indonesia, yang sekarang telah
dibubarkan), World Bank, Islamic
Development Bank, dan IMF (International
Monetary Forum, ketika Indonesia dilanda Krisis Asia tahun 1998). Beberapa bantuan, memiliki tendensi
untuk melakukan control terhadap beberapa kebijakan, sehingga didiktelah kita
karena bantuan itu. Kembali ke awal, saya pikir kebijakan penghapusan trem
adalah gerakan mundur tiga langkah.
Akhir kata, masalah transportasi kita
akui memang rumit, namun tidak akan sebegitu rumit kalau pemerintah kita
konsisten menyediakan layanan transportasi missal seperti trem, subway, MRT,
kereta api, yang terpadu, efisien dan bersifat “move people, not the car” alias bersifat massal.
Lain waktu kita sambung lagi dengan
topik yang saya belum tahu, tapi Insya Allah akan lebih menarik. Ciao!