Friday, May 18, 2012

Liburan Cuti Bersama dan Sistem Transportasi di Indonesia


Di Indonesia, tempat segudang perbedaan berada, memiliki sejumlah hari libur nasional yang oleh pemerintah kadangkala ditetapkan menjadi hari libur cuti bersama, yaitu hari libur nasional yang satu hari itu menjadi lebih panjang 2-4 hari, biasanya jika hari libur nasional tersebut mendekati weekday (hari Sabtu/Minggu). Nah, kebijakan pemerintah ini menjadi kebijakan yang sangat dicintai oleh seluruh keluarga di Indonesia karena dengan hari libur nasional/hari libur cuti bersama dapat mereka jadikan ajang untuk berlibur bersama dengan anggota keluarga. Beragam rencana liburan, jauh maupun dekat, sudah ada dalam rencana.
Indah? Tentu saja, tapi itu dalam rencana. Pada kenyataannya, ketika sebuah keluarga sudah “turun ke jalan” dengan mobilnya, yang didapati adalah kemacetan, keruwetan lalu lintas. Waktu perjalanan menjadi lebih panjang 2-3 jam. Ambil contoh  jalur ke Bogor, yang biasanya menjadi rujukan warga Jakarta untuk berlibur, menjadi padat oleh mobil dan bus yang mengular. Bagaimana dengan daerah yang lain? Sama saja.
Sedikit bercerita pengalaman pribadi pada hari libur Kenaikan Isa Al-Masih yang jatuh pada tanggal 17 Mei 2012, yang di-expand menjadi hari cuti bersama sampai dengan Minggu 20 Mei 2012, saya, saudara-saudara, orang tua, dan keponakan saya Yusuf yang berusia 6 tahun memanfaatkannya untuk sekadar mencari tempat “nongkrong”, yaitu tempat makan dan biasanya terdapat arena outbound, permainan anak, maupun kebun binatang mini. Tempat yang kami tuju adalah “Banaran”.
Perjalanan sampai dengan masuk pintu tol Ungaran sejauh itu baik-baik saja, namun di pintu keluar tol, terjadi antrean panjang kendaraan. Ya maklum, pintu keluar tol Ungaran adalah “jalan kampung”, tidak lebar, karena sifatnya hanya sementara menunggu sesi selanjutnya jalan tol Ungaran-Solo dibangun. Mobil-mobil mengular di “jalanan kampung” Ungaran untuk sekadar “muncul” ke jalan raya.
Bagi warga Semarang, rute menuju Yogyakarta dan Solo adalah rute favorit liburan, sehingga lazimnya ketika weekend kemacetan sering terjadi. Jangan tanya bagaimana kalau mudik, kawan saya pernah melakukan perjalanan mudik dari Semarang ke Yogyakarta atau sebaliknya ketika pulang mudik (arus balik) yang biasanya dapat ditempuh dalam 3 jam menggelembung menjadi 10 jam. Sungguh sangat membuat stress.
Baik, lalu apa? Apa kita hanya bisa mengeluh, menggerutu berulang-ulang tanpa ada solusi? Apakah sebenarnya solusi untuk mengatasi macet itu ada? Jawabannya, tidak ada. Solusi mengurangi macet (baik secara signifikan maupun tidak) tentu ada, tapi menghilangkan sama sekali, tidak ada.
Taruhlan contoh di negeri-negeri Eropa di mana system transportasi massal sudah sedemikian teratur, canggih, dan efisien saja kemacetan masih dapat kita temui di jalanan. Apalagi, di negeri kita yang belum baik, kalau tidak mau dikatakan tidak.
Menurut pendapat saya, system transportasi missal di Indonesia tidak akan sedemikian semrawut nya jika, pemerintahan Soekarno tetap mempertahankan Trem. Dihapuskannya trem membuat saya tidak habis pikir, kenapa Soekarno menghapus alat transportasi trem dan menguburnya dengan aspal. Alasannya? Hanya untuk menghapus jejak-jejak peninggalan kolonialisme Belanda. Hanya itu alasannya? Ya, hanya itu. Anda tidak habis pikir kan bahwa alasannya sesepele itu. Menurut saya tidak semua budaya, peninggalan, adat, kebiasaan yang dibawa oleh colonial Belanda adalah buruk. Banyak kok yang baik, contohnya saja hukum kita berkiblat atau menggunakan peninggalan Belanda.
Baik, kembali ke soal trem tadi. Saya pernah membaca, entah benar atau tidak namun masuk akal,  bahwa kebijakan penghapusan alat transportasi massal yang bernama trem adalah karena bantuan atau dana hibah dari pemerintahan Jepang untuk Indonesia. Bantuan itu digunakan untuk menutup jalur rel dengan aspal dengan tujuan supaya Yamaha, Honda, Suzuki bisa berjalan di atasnya. Seperti kita ketahui, penduduk kita adalah besar jumlahnya dan merupakan tujuan ekspor negara lain. Apalagi, pemerintahan waktu itu, orde lama, lebih-lebih orde baru, sangat welcome terhadap bantuan pihak asing, entah itu utang, lebih-lebih dana hibah. Sekadar informasi bagi pembaca, seingat saya pemberi bantuan Indonesia (entah itu utang atau hibah) antara lain Pemerintahan Jepang, CGI (consultative Group of Indonesia, yang sekarang telah dibubarkan), World Bank, Islamic Development Bank, dan IMF (International Monetary Forum, ketika Indonesia dilanda Krisis Asia tahun 1998). Beberapa bantuan, memiliki tendensi untuk melakukan control terhadap beberapa kebijakan, sehingga didiktelah kita karena bantuan itu. Kembali ke awal, saya pikir kebijakan penghapusan trem adalah gerakan mundur tiga langkah.
Akhir kata, masalah transportasi kita akui memang rumit, namun tidak akan sebegitu rumit kalau pemerintah kita konsisten menyediakan layanan transportasi missal seperti trem, subway, MRT, kereta api, yang terpadu, efisien dan bersifat “move people, not the car” alias bersifat massal.
Lain waktu kita sambung lagi dengan topik yang saya belum tahu, tapi Insya Allah akan lebih menarik. Ciao!

Thursday, May 10, 2012

Insight of Sukhoi Super Jet 100 crash in Indonesia


Jika ada yang bertanya apa kabar Indonesia dua hari terakhir, jawabannya adalah dipenuhi oleh berita kecelakaan pesawat Sukhoi Super Jet 100 yang sedang melakukan joy flight, namun kontak radar menghilang di Gunung Salak, Bogor dan bangkai pesawat ditemukan satu hari kemudian. Penumpangnya? Tim SAR belum dapat menerobos ke lokasi tebing gunung salak. Yah, tentu kita berharap agar para korban dapat segera ditemukan, baik dalam keadaan hidup maupun tidak.
Kejadian kecelakaan pesawat bukanlah hal yang baru terjadi di Indonesia. Namun, peristiwa ini menjadi menarik karena pesawat Sukhoi SJ100 terbang di Indonesia dalam rangka joyflight, atau test drive bagi maskapai penerbangan (airlines) calon pembeli, yang mana tentu saja terbang dalam keadaan sangat prima dengan kru kabin yang terbaik. Berarti kesimpulan sementara, yang tentu saja tanpa bermaksud mendahului proses investigasi, kecelakaan ini bukan karena faktor teknis mesin pesawat atau bukan juga karena faktor kesalahan manusia (human error). Lalu, karena apa? Jawabannya, yah tentu saja kita masih perlu menunggu hasil investigasi KNKT (Komisi Nasional Kecelakaan Transportasi). Yang paling mungkin, kecelakaan terjadi karena faktor cuaca. Kemudian kalau kita mencoba bersikap kritis lagi, apa pihak bandara tidak mampu meramalkan keadaan cuaca sebelum pesawat melakukan take-off? Atau setidaknya memberi peringatan dini untuk tidak terbang pada daerah tertentu atau ketinggian tertentu? Kenapa cuaca, kehendak alam masih menjadi “kambing hitam” atas terjadinya kecelakaan pesawat?
Kata ayah saya, di sekitar lokasi kejadian Gunung Salak, Bogor atau di sekotar daerah Sukabumi, pernah juga terjadi kecelakaan yang waktu itu memakan korban jiwa putra seorang Gubernur Jawa Tengah Suwardi yang akan lulus sekolah pilot, sekitar tahun 90-an. Ini sekadar intermezzo.
Kembali ke topic kita, peristiwa ini menjadi sedemikian di-blow up karena juga menyangkut kepentingan Rusia. Dari hasil interview dengan pihak Rusia, ada semacam kekuatiran tersendiri yang melanda mereka atas masa depan pesawat Sukhoi SJ100. Ini wajar, sebagai penjual mereka kuatir calon pembeli akan menilai produk pesawat mereka tidak bagus, belum apa-apa sudah kecelakaan, dsb. Itu kesan pertama yang saya tangkap, bahwa mereka lebih kuatir akan persepsi buruk masyarakat atas Sukhoi Super Jet 100, daripada bersimpati terhadap para korban. Namun, kemudian pendapat saya tersebut meluntur, ternyata kemudian pihak Rusia mengirim KNKT Rusia, selain para jurnalisnya, sebagai bentuk tanggung jawab dan rasa persaudaraan terhadap pemerintah RI, yang mana sebagian besar warganya menjadi korban.
Akhir kata, kita berharap, semoga para korban cepat ditemukan oleh tim SAR, itu saja dulu. Sembari kita tetap berdoa pada Yang Maha Mendengar. Sekian dulu tulisan saya, kita lanjut besok-besok.